Maulana Syeh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan)
Di Kalimantan banyak terdapat beberapa Wali Allah yang kami sebut "Datu", panggilan untuk orang tua pada jaman dahulu.
Berikut dibawah ini saya berikan sedikit riwayat singkat serta cerita sejarah para Wali Allah tersebut.
Berikut dibawah ini saya berikan sedikit riwayat singkat serta cerita sejarah para Wali Allah tersebut.
{DATU KALAMPAYAN MARTAPURA}
Yang disebut Datu Kalampayan tidak
lain adalah Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari. Lahir 15
Shafar 1122 H bertepatan dengan 19 Maret 1710 M di Desa Lok Gabang, dan wafat
di Dalam Pagar 6 Syawwal 1227 H bertepatan dengan 13 Oktober 1812 M dalam usia
105 tahun dan dimakamkan di kampung tersebut, yaitu Desa Kalampayan, Martapura
(Sekitar 56 Km, dari Banjarmasin).
Maulana Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh dan mempunyai peranan
penting dalam sejarah pengembangan syiar agama Islam, khususnya di bumi
Kalimantan. Seorang yang sangat gigih mempertahankan dan mengembangkan faham Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dengan faham Asy’ariah untuk ilmu Tauhid, dan Mazhab
Imam Syafi’iuntuk bidang Ilmu Fiqih. Beliau juga seorang mufti (penasehat
agama) pada Kesultanan Banjar, dan juga seorang penulis yang produktif.
Maulana Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari ketika kecilnya bernama Muhammad Ja’far, adalah anak tertua dari
lima bersaudara hasil perkawinan Abdullah dengan Siti Aminah. Adapun anak
Abdullah dengan Siti Aminah adalah:
1.
Haji Muhammad
Arsyad. (30)
2.
Haji Zainal
Abidin . (14)
3.
Abidin. (-)
4.
Diang Panangah.
(2)
5.
Normin. (3)
Sejak kecil, tepatnya pada umur sekitar 7 tahun Muhammad Arsyad
kecil sudah fasih dalam membaca Al-Qur’an. Bakat tulis-menulis juga sudah mulai
nampak terlihat padanya kala itu. Karena itu beliau dipelihara dan dikumpulkan
oleh sultan besama dengan anak-anak dan cucu-cucu keluarga kerajaan.
Karena bakat dan kepandaian beliau dalam mempelajari ilmu agama
sangat menonjok, maka menjelang usia 30 tahun Muhammad Arsyad diberangkakan ke
Tanah Suci Makkah untuk memperdalam ilmu agama dengan biaya sultan (kerajaan),
karena sultan berharap dengan ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci itu kelak
akan dapat membimbing dan mengajarkannya kepada rakyat Banjar dan sekitarnya
dlam hal keagamaan (Islam).
Di Tanah Suci Makkah dan Madinah beliau belajar kepada para ulama
yang terkenal, antara lain :
1.
Syekh Athaillah
bin Ahmad Al-Mihsir Al-Azhar.
2.
Syekh Muhammad
bin Sulaiman Al-Kurdi, Madinah. Beliau sempat berdialog tentang masalah agama
dan hokum-hukum Islam dengan Syaikhul Islam Imamul Haramain yang kala
itu bukan datang dari Mesir, beliau ini yaitu Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi
adalah pengarang kitab Hawasyil Madaniyyah.
3.
Syekh Muhammad
bin Abdu Karim As-Sammany Al-Madanny, dalam bidan ilmu tasawuf yang akhirnya
beliau mendapat ijazah dalam bidang kedudukan Khalifah (wakil).
4.
Syekh Ahmad bin
Abdul Mun’im Ad-Damanhuri.
5.
Syekh Sayyid
Abdul Faydh Muhammad Murtadha’Az-Zabidi.
6.
Syekh Hasan bin
Ahmad’Akisy Al-Yamani.
7.
Syekh Salim bin
Abdullah Al-Bashri.
8.
Syekh Shiddiq
bin Umar Khan.
9.
Syekh Abdullah
bin Hijazi bin Asy-Syarqawi.
10.
Syekh
Abdurrahman bin Abdul Aziz AlMaghrabi.
11.
Syekh Sayyid
Abdurrahman bin Sulayma Al-Ahdal.
12.
Syekh
Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani.
13.
Syekh Abdul
Ghani bin Syekh Muhammad Hilal.
14.
Syekh’Abid
As-Sindi
15.
Syekh bdul
Wahab Ath-Thanthawi
16.
Syekh Maulana
Sayyid Abdullah Mirghani.
17.
Syekh Muhammad
bin Ahmad Al-Jawahir.
18.
Syekh Muhammad
Zayn bin Faqih Jalaluddin Aceh.
Ketika di Makkah, beliau berkenalan dengan dan bersahabat dengan
penuntut-penuntut ilmu setanah air, antara lain : Abdul Wahhhab Bugis
Sailikin dari Makassar, Abdys Samad dari Palembang (pengarang kitab Siyarus
Salikin dan Hidayatus Salikin) dan Abdur Rahman Masri dari
Betawi (Jawa). Konon di Makkah itu pula beliau sempat berkenalan dan sekaligus
berguru kepada Datu Sanggul (Abdus Samad), yang pada akhirnya beliau diberi
kitab yang terkenal dengan sebutan Kitab Barencong oleh Datu Sanggul.
Setelah lebih 30 tahun belajar di Tanah Suci beliau akhirnya dapat
menguasai keahlian di berbagai bidang ilmu agama seperti: ilmu fiqih, ilmu
tasawuf, usul fiqih, cabang-cabang Bahasa Arab seperti: nahwu, sharaf,
balaghah, dan lain-lain, serta ilmu falak (astronomi) dan ilmu umum seperti
ilmu politik serta pemerintahan. Selesai mempelajari ilmu yang disebutkan di
atas beliau pulang ke Tanah Air bersama kawan-kawannya.
Sebenarnya beliau dan kawan-kawan tidak ingin pulang ke Tanah Air
tetapi ingin melanjutkan belajar ke Mesir namun maksud tersebut terpaksa
dibatalkan karena Syekh Sulaiman Al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu mereka sudah
cukup dalam dan luas, lebih penting pulang ke Tanah Air untuk memberi pelajaran
dan membimbing masyarakat di daerah masing-masing.
Akhirnya mereka menuruti nasehat guru mereka itu. Setiba di tanah
Betawi (Jakarta) Muhammad Arsyad dan kawan-kawan disambut oleh para ulama dan
orang banyak dengan gembira. Selama 60 hari berada di Betawi (Jakarta), beliau
berkunjung ke beberapa masjid. Berkat beberapa karamah (keahlian) yang
beliau miliki, beliau dapat membetulkan arah kiblat masjid yang kurang tepat.
Mesjid yang beliau perbaiki arah kiblatnya adalah Mesjid Jembatan Lima, Mesjid
Luar Batang, dan Mesjid Pekojan.
Selanjutnya beliau menuju Banjarmasin dengan menumpang kapal
Belanda. Sesampai di tengah Laut Jawa, kapten kapal bertanya :
“Ya, Tuan Haji Besar! Berapakah kedalaman laut Jawa ini ?” Kata kapten kapal. (Haji Besar adalah gelar kehormatan bagi tuan
guru yang menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah).
Sebelum menjawab Syekh Muhammad Arsyad memandangi air laut jawa
tersebut, kemudian berkata. “200 meter” jawab Syekh Muhammad Arsyad.
Kapten kapal tadi tidak langsung percaya dengan jawaban Muhammad
Arsyad itu, kemudian dia mengambil meteran panjang dan mengukur kedalaman
tersebut. Setelah diukur ternyata kedalaman laut tersebut tepat 200 meter,
sedikitpun tidak kurang dan tidak lebih, kapten kapal Belanda itu menggelegkan
kepalanya mendengar jawaban Syekh Muhammad Arsyad.
“Tuan Haji Besar, anda orang hebat!” puji kapten kapal.
“Dari mana tuan mengetahui bahwa kedalaman laut Jawa ini 200
meter?” Tanya kapten kapal.
“Dari warna airnya, bila air laut berwarna putih kebiru-biruan
kedalamannya 200 mete, seperti laut Jawa ini, bila kebiru-biruan maka
kedalamannya mencapai 2000 meter, dan bila berwarna biru kedalamannya mencapai
2000 meter lebih” jawab Syekh
Muhammad Arsyad dengan mantap.
“Tuan betul” kata kapten
kapal Belanda itu kagum akan kecerdasan dan ilmu yang dimiliki beliau.
Pada bulan Ramadhan 1186 H (1773 M) sampailah beliau di tanah
Banjar. Kedatangan beliau disambut meriah oleh kerajaan beserta seluruh rakyat.
Agar Muhammad Arsyad leluasa mengembagkan ilmu yang telah
diperolehnya, oleh Sultan Tahmidullah II beliau diberi sebidang tanah belukar
di luar kota Martapura, tepat ditepi sungai menuju Banjarmasin. Tanah belukar
itu dijadikan perkampungan tempat tinggal dan di tempat ini pula beliau dapat
mengajarkan ilmu-ilmu yang telah didapatnya dengan membuka pengajian-pengajian.
Di samping mengajar beliau juga seorang pengarang yang produktif,
beliau banyak mengarang kitab-kitab agama untuk bahan pelajaran bagi para
penuntut ilmu, seperti:
1.
Sabilal
Muhtadin. Berisi tentang fiqih.
2.
Risalah
Ushuluddin. Kitab tauhid
bahasa melayu tulisan Arab. Ditulis pada tahun 1188 H.
3.
Tuhfatur
Raghibin. Berisi tentang tauhid. Ditulis pada
tahun 1188 H.
4.
Kanzul
Ma’rifah. Berisi tentang ilmu tasawuf.
5.
Luqthatul’Aljan.
Kitab khusus membahas fiqi tentang perempuan.
6.
Kitab Faraid. Berisi tentang tata cara pembagian waris.
7.
Al-Qawlul
Mukhtashar. Berisi tentang
Imam Mahdi. Ditulis pada tahun 1196 H.
8.
Kitab Ilmu
Falak. Berisi tentang astronomi.
9.
Fatawa Sulayman
Kurdi. Berisi tentang fatwa-fatwa guru
beliau Sulayman Kurdi.
10.
Kitabun Nikah. Berisi tentang tata cara perkawinan dalam syariat Islam.
Selain itu pula karya tulis beliau berupa mushaf Al-Qur’an tulisan
tangan beliau dalam ukuran besar dan dengan khath yang sangat indah, dan
sampai sekarang masih dapat dilihat di Museum Nasional Banjarbaru Kalimantan
Selatan.
Kitab-kitab beliau tersebut sampai sekarang masih dijadikan bahan
kajian dan pelajaran, bahkan sebagai bahan pegangan dalam melaksanakan ibadah,
terutama kitab Sabilal Muhtadin. Kitab Sabilal Muhtadin ini tersiar luas di
Asia Tenggara bahkan sampai ke Makah dan Mesir, dan ini merupakan salah satu karamah
(kemuliaan) beliau.
Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mempunyai 11 orang isteri,
dan mempunyai 30 Orang anak, isteri-isteri beliau adalah:
1.
Tuan Bajut (2
anak).
2.
Tuan Bidur (4
anak).
3.
Tuan Lipur (5
anak).
4.
Tuan Guwat (6
anak).
5.
Tuan Ratu
Aminah (7 anak).
6.
Tuan Gandar
Manik (tidak punya anak).
7.
Tuan Palung (3
anak).
8.
Tuan Turiah (3
anak).
9.
Tuan Daiy
(tidak punya anak).
10.
Tuan Mardikah
(tidak punya anak).
11.
Tuan Liyuh
(tidak punya anak).
Karamah (Kemuliaan)
lain adalah makam beliau yang sampai sekarang sangat ramai diziarahi orang.
Dengan ziarahnya orang-orang yang datang dari segala penjuru Kalimantan dan
luar Kalimantan, mereka membagi-bagikan hadiah kepada penduduk kampong
Kalampayan yang ada disekitar makam itu. Hal ini adalah merupakan nikmat dan
rezeki bagi masyarakat sekitar makam beliau itu, dengan kata lain, walau beliau
sudah lama meninggal dunia, beliau masih dapat “membantu” penduduk kampong
sekitar makam beliau.
Komentar
Posting Komentar